penikmat senja, katamu
Kataku, kamulah senja.
Kamu dan senja punya kesamaan.
Persepi yang aku ciptakan dalam benak ku sendiri.
Jauh dilubuk hati, kehadiranmu selalu di nanti.
Tak pernah mau berlama, senja lebih singkat dari matahari
untuk siang dan rembulan untuk malam.
Durasimu hanya se-perduaempat dari
panjangnya waktu pergantian hari.
Mengapa baru datang lekas pergi lagi?
Apa kamu tidak ingin lama tinggal, setidaknya menemani
sepi ku?
Bahagia tidak lah akan selalu, terkadang rasa kecewa menyelimuti
perasaanku. Sebuah penantian sia-sia ketika hujan turun ke bumi. Tak mengerti,
kamu seakan berpasrah dan membiarkan hujan menang untuk menyela. Ketika hujan
datang, kamu memilih tidak hadir.
Aku tidak marah pada hujan begitupun padamu. Aku hanya
ingin bertanya, mengapa kamu dan hujan bersimpangan?
Biarkanlah! Biarkan itu menjadi sebuah teka teki. Cukup
Pemilik Semesta-lah yang tahu jawabannya.
Bulan ketiga itu penutup musim penghujan. Aku tak berharap
banyak akan hadirmu tapi
aku percaya akan ada hari datangnya sebuah untung
walau hujan sekalipun.
Dan benar saja, aku beruntung.
Senja di bulan ketiga, lembayung-mu berwarna warni
tidak cuma jingga, durasi hadirmu lebih lama dari pergantian langit sore ke
langit malam, lebih panjang dari waktu perjalanan Chicago menuju Kanada.
Tidak menghiraukan datangnya hujan kamu tetap ada menemaniku lewati hari yang cukup lelah, penuh
drama juga bau matahari yang menempel dibajuku sedari pagi.
Tak terasa begitu cepat waktu berlalu kita sampai pada
malam, di penghujung waktu kita sempatkan menyapa bintang malam lalu saling berucap
salam perpisahan. Tunggu, bukan kita. Sebatas aku dan kamu tidak akan pernah
menjadi kita. Aku tidak peduli.
Untuk satu hari itu, terimakasih pada semua hal yang
menyenangkan juga untuk rasa nyaman yang sudah kamu tularkan.
Selamat melanjutkan perjalananmu senja, semoga bisa
menyapamu kembali di peraduan. Esok atau satu hari nanti.
~kebersamaan
saat itu diiringi lagu “Jatuh Hati” Raisa.
Maret 2016
Komentar
Posting Komentar