tidak biasanya orang ini muncul
di mimpi aku.
terasa lucu dan ingin tertawa
geli jika mengingatnya lagi, mimpiku
semalam yang tidak biasanya teralami. Cerita dari mimpi aku itu tidaklah
istimewa, seram, bahkan romantis melainkan membuatku senyum-senyum aduhai. Sebangun dari tidur itu yang aku ingat jelas
adalah Ujang. Wajahnya begitu jelas terekam dalam mimpi aku itu.
"yah.. jadi inget lagi deh !"
**
Kebetulan aku ingat Ujang aku ingin cerita nih ....
"yah.. jadi inget lagi deh !"
**
Kebetulan aku ingat Ujang aku ingin cerita nih ....
Ujang itu panggilannya dan nama
aslinya itu adalah Rohman.
Ujang yang dulu bertubuh tinggi
dan kecil, berkulit putih, bermata sipit, berwajah oriental dan berkarakter
jenaka.
Banyak hal yang aku ingat
tentangnya.
terutama hal-hal yang dia lakukan
dan katakan. Apapun yang terucap dari mulutnya sering kali mengocok perutku.
Namun, tak jarang jua dia sering
membuat aku tersipu dengan tindakan-tindakannya yang sok dewasa, misalnya
pernah di satu hari dia kasih aku setangkai bunga, anggapannya supaya aku di
jauhi cowok-cowok “aneh” yang sering
mengganggu aku.
dan masih melekat sekali di
kepala aku pada saat dia memberikan setangkai bunga itu di depan kelas..
So sweet banget!!
Unyu banget lah….hanya sayangnya
waktu itu aku masih culun, jadi aku Cuma angap lelucon belaka.
padahal ga tau juga sih
mekasudnya apa, he he he ~___~
Kisah seru lainnya adalah saat
kegiatan sekolah jalan-jalan ke Boscha Lembang dan Dago Pakar.
Di boscha kami seru- seruan
bareng dan yang paling aku inget saat kami masuk ke Dago pakar.
waktu itu kelas kami giliran
masuk ke gua-gua yang ada di sana. Salah satunya gua Jepang.
Gua terseram, katanya. Dan memang
dulu rumornya banyak hal mistik di sana.
terlebih karena dulu aku dan
kawan-kawan masih bocah jadi sangat cukup wajar jika saat itu kami parno
mendengar hal-hal seperti itu.
Lalu, dengan penuh keterpaksaan
kami pun berbondong-bondong masuk ke gua itu.
Aku yang takut dengan kegelapan
sering berdesis ketakutan. Namun, tiba-tiba saja aku merasa sangat aman sekali
kala itu. Entah karena apa aku bias
nyaman dengan kegelapan.
Namun yang aku rasakan saat itu
ada yang menggegam tanganku. Aku biarkan tanganku ini di genggam, entah oleh
siapa. Namun, sangat nyaman sekali genggamannya.
Aku pun berusaha mencari tahu
tangan siapa, namun gelapnya gua itu tidak bisa menggambarkan wajahnya.
Semuanya hitam.
Hanya suara teriakan dari
teman-teman lain yang bias aku rasakan saat itu
Karena banyaknya massa yang masuk
ke gua itu, aksi saling dorong pun terjadi dan tak sengaja genggaman itu pun
terlepas.
Dan aku pun terjatuh ke dalam
lubang, seperti selokan namun dangkal.
Tiba-tiba saja ada meraih
tanganku dan kali ini seberkas cahaya menggambarkan wajahnya, ternyata dia
Ujang. Ujang meraih tanganku dan membantuku bangun, ia juga mengatakan,
“Sini aku bantu. kita pegangan
ya, ayo pegangan!” lalu ia menggegam tanganku dengan eratnya.
kami pun kembali berjalan hingga
lubang gua berikutnya.
Saat itu rasa aman yang aku
rasakan kembali terasa saat Ujang berada di sebelahku.
Rasanya sama seperti tangan yang
sebelumnya menggegamku.
Akhirnya pintu keluar gua itu pun
kami temukan.
Dan aku kembali tersenyum dengan
sikap yang Ujang tunjukan padaku.
Itulah kisah romatis yang pernah
aku alami dengannya.
Sama seperti kisah sinetron yang
tidak hanya mengisahkan kesenangan pelaku-nya, aku pun pernah mengalami kisah
sedih seperti seperti sinetron.
Ceritanya, waktu aku kelas 4 SD.
Waktu itu, rutinitas aku setelah
pulang sekolah adalah ikut bimbingan belajar yang tempatnya di kediaman wali
kelasku. Pak Rohanda namanya.
Rumah Pak Rohanda dan aku
tidaklah jauh. Jadi, biasanya saya pulang dulu ke rumah beda dengan kebanyakan
teman yang lain rumah mereka cukup jauh jadi, mereka langsung datang ke rumah
Pak Rohanda.
15 menit sebelum pembelajaran di mulai, aku
manfaatkan waktu ku di rumah untuk ganti baju dan makan siang. Setelah itu aku
pun ijin pergi, biasanya aku jalan sendiri.
Namun kali itu berbeda seperti
biasanya, waktu itu tiba-tiba saja Ujang
menungguku.
Dahulu di di depan rumahku itu
lapangan basket. Dan Ujang dengan satu temannya menunggu disana
Dari jendela kamarku aku
melihatnya sedang asyik bermain basket sambil tertawa-tawa.
Awalnya sih, tawaannya itu pelan
tapi lama-kelamaan suaranya semakin nyaring dan berkali-kali berteriak
memanggil namaku sambil terus tertawa terbahak-bahak.
Namanya juga anak kecil, tak tahu etika dan aturan. tak tahu
keadaan dan situasi
Teriak-teriak sapaan itu tidaklah
dibuat mulus dengan balasan sapaan dariku, teriakan itu justru membuat Papahku
naik darah dan mengambil tindakan sedikit bengis,
Papah keluar dari rumah mendekati
mereka. Papah sudah bersiap memarahi mereka yang dianggapnya pengganggu itu
dengan pelototan mata dan suara lantang nyaris bergema memarahi dan mengusir
Ujang dan kawannya.
Suaranya pun terdengar hingga
kamarku, Aku pun tidak bisa berbuat apa-apa selain mengenduskan nafas dan
mengelus dada. Karena melihatnya saja aku sudah gemetaran apalagi Ujang yang
berhadapan langsung. Wuaa…. tidak ingin membayangkan pokoknya!!
Ajaibnya, dugaanku tepat pada
sasaran Ujang begitu ketakutan lari
terbirit-birit. Pasti mereka mencari tempat yang aman dari amukan papah tadi.
Dan setelah peristiwa itu aku
sangat yakin kalau ia akan menangis. Karena ekspresi papah yang terkesan
antagonis itu.
Tak lama, papah kembali masuk ke
rumah. dan aku pun keluar dari kamar. Papah memandangiku dengan sinis dan
langsung menanyakan dua bocah yang tadi menyerukan namaku tadi.
Aku hanya bias diam, menunduk,
menggelengkan kepala dan berlalu.
Aku berjalan dan sedikit tak enak
hati kepada Ujang. Aku mencari keberadaan Ujang tapi tak ku temukan batang
hidungnya. DI sudut jalan dekat rumah pak Rohanda tidak ada, di rumah pak
Rohanda pun tidak ada.
Tak lama, beberapa teman
laki-laki datang menghampiriku sambil meledekku.
“Eleug Dita, Eleug Dita” sambil bertepuk tangan .
Tanda ledekan tradisi sunda yang
maksudnya adalah \hayo dita, hayoo looohh/ *kira-kira begitulah*
Aku bingung dengan sikap mereka
yang tanpa alasan bicara seperti itu, aku kembali bertanya maksud mereka itu, “
kenapa aku ? kok kalian gitu sih?” tanyaku.
dan salah satu dari mereka
menjawab, “ gara-gara papah kamu tuh Ujang nangis dan gara-gara papah kamu juga
Ujang ga mau les.. huh dasar! Eleug hayoh dita tah…”
“Hah ? Nangis??segitunya… “
*pasang wajah innocence*
sepolos-polos dan tak sepeduli-pedulinya dan
semarah-marahnya aku ke Ujang dengan sikapanya yang kekanak-kanakan itu justru
aku semakin bersalah dan ingin meminta maaf.
Tapi gimana caranya minta maaf,
Ujang pun tidak ada.
Dan setelah kejadian itu Ujang
punya sikap 180 derajat kepadaku.
Ujang tidak lagi sebagi
pelindung, Ujang tidak lagi humoris, Ujang tidak lagi berani mendekatiku.
Di kelas kami hanya sekedar
bertegur sapa malah kadang jarang sekali mau melihat wajah satu sama lain.
Sampai di akhir kelulusan, Ujang
memang masih konsisten amarahnya.
Entahlah, setelah itu aku tidak
ingat lagi ending kami seperti apa.
Yang aku ingat, setelah kelulusan
itu Ujang pindah rumah. Dan sampai sekarang kami belum lagi bertemu.
Dan begitulah cerita aku dengan
Ujang.
Komentar
Posting Komentar