"Dunia Pasti Berputar.. Ada Saatnya semua harus berubah..."
Kutipan singkat yang diambil dari lagu ST12 ini, menggambarkan jelas isi hati saya saat ini. Mengingat kejadian yang ingin saya ceritakan.
Saya berfikir keras tentang kalimat tersebut. Kalimat itu seolah-olah sudah bahkan masih terjadi di kehidupan orang yang saya kenal. Dua keluarga yang dulunya harmonis tetapi saat ini ironis.
Saya akan sedikit memperjelasnya dengan sebuah kronologis ceritanya.
Saya mengenal dua orang adik-kakak (sama-sama perempuan) yang masing-masing sudah memiliki keluarga. Si Adik, katakanlah Jui dan Si Kakak, katakanlah Fidi. Dulu mereka rukun, saling bahu-membahu disaat kesusahan, saling menolong disaat kesulitan. Tidak kenal dengan kata rugi, ataupun sungkan. Semua dilakukan dengan ikhlas. Dari Jui masih dibangku kuliah, Fidi pun tak pernah merasa ragu untuk memberikan sedikit uang saku walaupun tidak banyak dan ketika Jui ingin bermalam di rumah Fidi, ia pun tak sungkan untuk memberikan pelayanan (baca: menyediakan makanan+kamar) yang baik untuk Jui. Karena Fidi yakin suatu saat dia juga akan membutuhkan Jui. Setelah berselang tahun, akhirnya Jui pun lulus sebagai mahasiswa Jurusan Hukum di universitas swasta kota Bandung, lalu ia ditarik bekerja di sebuah perusahaan dan tak lama dari itu ia pun menikah. Ketika Fidi yang memiliki 3 orang anak, saat itulah Jui pun melahirkan anak pertamanya.
Tak ada yang beda dari sebelum-sebelumnya. Yang beda adalah nasib yang saat itu dialami Fidi. Perusahaan sepatu yang sudah dirintih Fidi dengan suami, harus kandas karena tipu daya teman-teman dari suami Fidi. Sehingga Fidi mengulang kembali usahanya, namun berbeda dari sebelumnya. Kini ia merintis usaha jasa Warung Telepun "Wartel" dibarengi warung kecil-kecilan yang memasarkan makanan-makanan ringan. Usahanya cukup maju walaupun bermodalkan hutang, penghasilannya sudah bisa menutupi di tujuh tahun pertama.
Namun, semakin tahun omset yang didapatkan tidak bisa diandalakan. Usaha wartelnya itu makin hari makin sepi karena tehnologi kominaksi yang kian menanjak dengan bermunculannya telepon seluler dengan tarif telepon sama dengan tarif lokal.
Namun, semakin tahun omset yang didapatkan tidak bisa diandalakan. Usaha wartelnya itu makin hari makin sepi karena tehnologi kominaksi yang kian menanjak dengan bermunculannya telepon seluler dengan tarif telepon sama dengan tarif lokal.
Fidi dan suami mulai pesimis, namun mereka tidak bisa semudah itu menyerah karena tanggungannya (: biaya kehidupan sehari-hari, sekolah anak, dan hutang) pun semakin besar. Hal yang bisa mereka lakukan adalah bagaimana mencari donatur untuk menyeimbangkan kembali perputaran uangnya, yang diandalkan mereka saat itu adalah warung. dan akhirnya mereka mencoba untuk bernegosiasi dengan Jui, yang mereka anggap Jui mampu membantu permasalahan yang sedang mereka hadapi. Jui pun tak merasa sungkan, karena dia pun merasa berhutang budi pada kakak yang dahulu pernah ikut berperan untuk kesuksesannya. Dengan kebaikannya ia rela memberikan modal pinjaman untuk usaha sang kakak, walaupun bukan uang pribadinya. ia tetap rela bertanggung jawab dengan menggunakan namanya perkreditan bank.
Semakin lama, semakin tidak karuan. Awal modal pertama cukup menghasilkan baik namun entah mengapa berjalan 1-2 tahun, Fidi lagi-lagi kehabisan modal dan terus menerus mengeluarkan modal yang mengandalkan Jui. Makin lama, Jui semakin bosan akan sikap Fidi yang katanya, "...mengandalkan".
Namun, demi kelangsungan hidup keluarganya Fidi dan suami tetap memohon, karena hanya satu-satunya penghasilan mereka saat itu. Sampai di satu titik klimaks dari permasalahan itu adalah Fidi stuck membayar hutangnya ke Bank yang atas nama Jui, dan Jui tetap bersikeras tidak ingin membayar karena merasa itu bukan hutangnya. Keretakan pun terasa. Hingga saat ini mereka masih dalam situasi yang "mengambang". Entah alur mana yang harus mereka pilih. Mereka mungkin masih dalam rasa dendam dan bimbang.
Materi inilah yang jadi pelaku utama atas persoalan ini yang mengakibatkan kerenggangan antara dua saudara yang dulu saling menyayangi dan mengasihi.
Materi inilah yang jadi pelaku utama atas persoalan ini yang mengakibatkan kerenggangan antara dua saudara yang dulu saling menyayangi dan mengasihi.
Permasalahan ini berakar hingga ragawi keduanya tersiksa. Ada kekesalan tetapi rasa rindu pun sudah pasti mereka rasakan. Hanya saja untuk saat ini kegengsian diri mereka lebih dominan di bandingkan menjaga tali persaudaraan. Apakah tidak berfikir panjang, kepada siapakah bilamana nanti harus meminta bantuan?ke tetangga terdekat?memang. Tapi lebih tepatnya adalah kepada saudaralah tempat kita bernaung.
***
Setelah saya ceritakan ini, saya hanya ingin menyampaikan bahwa dunia ini memang akan berputar. Terkadang seseorang yang dahulu lemah suatu hari pasti akan memiliki kekuatan yang luar biasa. Namun, kekuatan(baca:kesuksesan) apabila terlalu "dibanggakan" akan mengakibatkan kehancuran bagi diri sendiri dan orang sekitarnya. Kita harus tetap rendah hati dan selalu bermawas diri, karena hidup adalah ujian. Dimana Tuhan akan mengukur kesabaran setiap insan .
Komentar
Posting Komentar