Di satu sore , antara Ibu dan Anak. terlibat sebuah dialog.
Saat itu sang ibu yang pertama membuka pembicaraan.
Penuh rasa antusias, beliau menceritakan tentang kehidupan salah satu teman di kelompok PKK yang juga menjadi rekan kerjanya. Pertamanya, ia menceritakan kebiasaan sehari-hari yang dilakukan temannya itu, sebutlah Ibu Sirin, diawali dengan kebiasaan berlanjut cerita keluarga.
Si anak yang sebenarnya sedikit jenuh dengan cerita si Ibu masih mencoba bertahan karena biar bagaimapun ia harus menghargai Ibunya bercerita. Jenuhnya itu dikarenakan sang ibu sudah mengulang lebih dari 4 kali di beberapa ceritanya. Begitupun dengan cerita yang satu ini
Seperti beginilah ibunya bercerita ....
" neng (panggilan sayang untuk anak perempuan orang sunda), tahu Ibu Sirin kan?. Ituloh temen Ibu." Sang ibu membuka cerita.
" Iya tahu, kenapa bu?" tanya si anak dengan.
" kemarin di tempat kerja ibu, dia bawa anak kedua nya. semua anaknya pinter loh. Yang pertama, Dian. sekarang di kedokteran dan pinter main segala jenisa musik, yang kedua si Lani di SMP nya juara umum terus manalagi pinter segala jenis tarian. Nah, yang ini neng. si Nita. Dia pinter lukis, pokoknya hebat lah anak-anak bu Sirin." , jelas sang Ibu
" Oh ya?hebat dong! kok bisa gitu ya bu? " jawab si anak sambil menyeduh air panas ke gelas berisi teh celup.
"iya neng. Ibu juga kagum. apalagi kalau ibu ke rumahnya.. wuiihhh piala nya neng, berjajar. kalau kita mah kan cuma ada dua......"
sang Ibu masih tetap menceritakan tentang anak-anak Ibu Sirin yang berprestasi itu. Dan saking antusiasnya ia bercerita sambil berdiri dan memainkan kedua tangannya seperti sang orator.
Si anak masih memperhatikan sambil merenungkan kata-kata ibunya itu. Ia telah mengira bahwa ibunya tidak bangga dengan prestasi yang ia dapatkan, malah lebih membanggakan orang lain ketimbang dirinya.
Teh hangat sudah ia teguk berkali-kali. Berharap segelas teh itu bisa menenangkan jiwanya agar tidak tergores oleh kata-kata sang Ibu. Ia mencoba dan mencoba menyingkirkan pikiran "kotor" tentang ibunya itu.
Ia kalah melawan serangan kata-kata yang menurutnya telah memojokan dirinya.
Dia merasa tidak mampu membahagiakan orang tuanya itu karena ia tidak seperti anak-anaknya ibu Sirin yang berbakat dan berprestasi.
Sedangkan dirinya?siapakah dirinya?
dia tak berbakat tak juga memiliki banyak piala. Cuma satu piala yang ia punya dan sangat ia banggakan, ialah piala dari sekolahnya itu.
Pikirnya, kenangan yang sangat ia banggakan itu ternyata masih kurang dirasakan puas oleh Ibunda. Padahal, dengan susah payah ia berusaha mendapatkannya.
Dan usahanya itu tidaklah berhasil. Semakin lama bathinnya semakin ciut.
Akhirnya, ia memberanikan diri untuk memotong cerita ibunya, dengan kata-kata yang cukup membuat sang ibu spontan diam.
" Bu, terang saja anak-anak bu Sirin berprestasi dan menang segala lomba sampai-sampai punya banyak piala seperti itu, gimana enggak. Bu Sirinnya saja mendukung, pasti bermodal juga kan bu?, sekarang coba ibu berfikir kenapa bisa anak pertama jago segala jenis musik kalau tidak didukung dengan les, privat dan juga alat-alat nya. Begitu pun anak kedua dan ketiga..belum lagi sisi prestasinya, dia bisa masuk PTN atau kedokteran sekalipun pasti di dukung dari orang tuanya kan bu?
Sedangkan aku?. Pendidikanku cuma sampai SMA. Aku berkeinginan untuk melanjutkan sekolah, ibu tidak ada biaya. Dulu, saat kita masih berjaya dan ibu mampu, aku berkeinginan untuk memperdalam Biola. Ibu melarang... Jadi sudah pasti aku tidak berbakat dan tidak punya piala sebanyak mereka...." Tegas si anak.
Sambil terpengah-pengah ia ucapkan kalimat yang membuat sang ibu berhenti untuk melanjutkan ceritanya. Argumen si anak membuatnya Ibu tak berdaya, beliau tak tahu bahwa anaknya akan mengeluarkan kalimat seperti itu. Yang beliau maksud hanyalah bercerita namun sang anak justru menanggapinya lain.
Beliau hanya bisa diam tanpa kata, rasanya mulutnya itu seperti dibelenggu tak bisa bicara.
Si anak yang masih merasa "panas" itu berlalu meninggalkan sang Ibu.
Dia masih merasa kecewa dengan kata-kata ibunya sang seolah-olah lebih membanggakan orang lain ketimbang dirinya, padahal maksud sang Ibu tidaklah demikian.
Dengan kebijaksanaan hati, sang Ibu menghampiri si anak perempuannya itu yang sejak tadi duduk termenung di dekat jendela kamarnya.
Sang Ibu duduk tepat di sebelahnya. Ia mengusap kepala si anak sambil berkata, " Neng, mungkin kamu salah paham dengan cerita Ibu. Biar bagaimana pun sebagus-bagusnya anak orang, Ibu tetap bangga sama kamu.Percaya sama Ibu ya, Ibu akui Ibu memang salah. Ibu tidak pernah memenuhi keinginan kamu, mendukung kamu, padahal itulah jadi bakat kamu. Saat ini, kamu tidak bisa kuliah juga karena Ibu tidak merencanakan matang-matang untuk biaya nya. Padahal kamu juga sudah bersusah payah untuk berprestasi hanya untuk membuat Ibu bangga. Jadi Ibu lagi-lagi buat kecewa anak ibu yang satu ini. Tapi, ibu hanya ingin kamu bersabar dan tahu satu hal kalau Ibu bangga punya kamu, nak. Ibu tidak pernah kecewa, sekalipun tidak. Coba Lihat ibu, nak. ", Bujuk sang Ibu.
" Lihat, sekarang kamu sudah tumbuh dewasa. Kamu sudah bisa bekerja, tidak menuntut apapun dari Ibu. Sudah tidak kekurangan apa apa lagi Ibu punya kamu, nak. " Tutur sang Ibu yang tak kuasa menahan air matanya.
Lalu, si anak menatap penuh penyesalan dan memeluk erat sang ibu dengan berurai air mata.
" Maafin aku bu, aku sayang Ibu....Ibu jangan bicara apa apa lagi. Aku percaya Ibu." ucap si anak terbata-bata.
Komentar
Posting Komentar